One sunny day a girl named Caca got a surprise in her backyard. She lived with her Mum, Dad and her big sister named, Chika. They all lived in a nice and peaceful street. The surprise that Caca got was that a new hammock was hanging between two trees. The hammock was full of different types of colours. Caca had a try on it. It was very comfy. She was about to call someone to help her swing the hammock, when suddenly the hammock swang all by itself! Caca was very surprised. She thought that the hammock was magical. It was like the hammock knew what she was thinking. For the whole day Caca stayed in the hammock most of the time. The next day Caca went on the hammock again after breakfast. You see, every time somebody lies down on the hammock something magical happens. Each day something different happens. But the hammock only did magical things to people that was nice. But Caca didn’t know that. This time, when Caca lay down on the hammock, she was somewhere else. She wasn’t outside in her backyard. She was on the MOON! Caca was a bit scared. Caca sat down on the hammock. ”I wish I could go home,” thought Caca. Then, with one soft sway they were home. Caca was relieved. When the next adventure with the hammock came, Caca wished it were nothing to do with the moon. Caca had a great time playing with hammock. When Caca was eating her dinner, she just knew that the hammock was magical. Tomorrow, Caca knew she would have a new lot of adventures with her special friend, The Magical Hammock!
(by: Kansha Sunarto)
Sunday, December 6, 2009
Tuesday, July 7, 2009
Ketika Penguin dan Anjing bermain bersama
Siang, sepulang dari tutor bahasa Indonesia di Drysdale Secondary College, aku singgah ke Newcomb Library karena ada beberapa buku yang harus kukembalikan. Seperti biasa aku melihat-lihat deretan buku di bagian masak-memasak atau merajut. Setelah mendapat buku “Cookies, Muffins and Cakes” aku beralih ke deretan buku-buku psikologi. Ada sebuah buku yang menarik perhatianku: Every Child Has a Thinking Style by Lanna Nakone. A guide to Recognizing and Fostering each Child’s natural Gifts and Preferences - To help them learn, Thrive, and Achieve.
Judulnya cukup menarik, karena belakangan ini aku dan Mas Agus cukup dibuat bingung dengan tingkah polah dua malaikat kecilku karena kadang-kadang mereka bisa berubah menjadi little devils. Akupun membawa pulang buku ini dan berharap bisa membacanya sebagai buku pengantar tidur atau teman menikmati muffin. Sebagai seorang ibu dari dua gadis kecil yang memiliki karakter yang sangat berbeda, seringkali aku berpikir, pola asuh seperti apa yang tepat buat anak-anakku? Setelah membaca bab pertama, aku segera ingin menyelesaikannya karena buku ini ternyata memberikan banyak masukan dan cukup memberikan jawaban bagiku yang terkadang merasa berjalan dalam gelap dan sedikit frustrasi melihat tingkah dua gadis kecilku yang sangat melelahkan.
Lana Nakone melalui riset terakhirnya membagi karakter anak menjadi 4 macam yaitu penguin (maintainers style), anjing (harmonizers style), kuda (innovators style), dan singa (prioritizers style). Tulisannya yang terstruktur dan bahasanya yang mudah dipahami serta dibantu dengan cerita, ilustrasi, dan langkah demi langkah dalam pendekatan terhadap setiap karakter anak membantuku lebih memahami keunikan mereka. Akupun kini harus memiliki pendekatan yang berbeda sehingga mereka lebih nyaman dan gembira dalam menjalani hari-harinya. Aku tahu itu tidak semudah teori di dalam buku ini. Aku juga tahu buku ini hanya alat bantu, tapi aku juga tahu…..
Chika-ku mungkin seorang “Penguin”.
Hari Sabtu siang. Seperti biasa, kami menjemput Chika & Caca dari kursus balletnya. Karena cuaca cukup cerah, Mas Agus membelokkan mobil ke arah luar kota - Inverleigh. Kami sekedar ingin mencari tempat piknik untuk menikmati makan siang. Tetapi sungguh sangat menjengkelkan, ketika Chika (waktu itu berumur 7 tahun) dengan bossy memberikan pernyataan bahwa dia tidak ingin jalan-jalan, disusul dengan suara sesenggukan tangis yang ingin memperjelas nada protesnya. Saat itu yang ada di pikiran kami adalah Chika terlalu bossy dan kami ingin dia mau mengerti kepentingan orang lain. Selama perjalanan dan makan siang dia terus menunjukkan wajah masam dan mata sembab. Akhirnya kamipun pulang dengan perasaan yang sangat tidak nyaman. Seorang penguin sangat menikmati rutinitas, sesuatu yang teratur dan terprogram dengan jelas. Sehingga dia tidak terlalu menyukai kejutan. Aku baru menyadarinya setelah membaca buku ini. Chika sebenarnya tidak bossy tetapi dia ingin semuanya terencana. Perjalanan mencari tempat piknik, yang kami pikir akan menyenangkannya ternyata bagi dia adalah sesuatu yang di luar program. Pada hari itu, dia ingin menyelesaikan bacaannya sepulang dari kursus ballet, sehingga hari berikutnya dia bisa ke perpustakaan untuk meminjam buku yang baru. Aku baru ingat bahwa Chika selalu membuat daftar apa saja yang harus dibawa dan diperlukan kalau kami akan pergi ke suatu tempat. Dia akan menikmati tugasnya mengingatkanku apa saja yang masih belum terbawa di keranjang piknik atau di tas ransel kami. Betapa senangnya dia kalau diajak membuka peta oleh ayahnya kalau akan merencanakan suatu perjalanan disaat liburan. Dan dia dengan senang hati mencatat di buku kecilnya jam keberangkatan serta jarak tempuh setiap kami mengadakan perjalanan ke suatu tempat yang baru. Di sekolah, Chika juga selalu dijadikan role model bagi teman-temannya karena ketepatannya dalam mengerjakan semua tugas yang diberikan kepadanya. Dan sekarang di usianya yang belum genap 9 tahun, dia mempunyai jadwal untuk membantuku mencuci piring di hari yang telah terjadwal yaitu hari Minggu, Senin, dan Rabu. Sungguh bersyukur kami memiliki seorang penguin di rumah kami. Dan betapa bersyukurnya dunia memiliki maintainers seperti engkau, Chika. Karena kalau tidak betapa kacaunya dunia ini.
Caca, engkaukah Si “Harmonizer?”
Selalu cekakak-cekikik dengan teman-temannya di ruang ganti ballet. Atau asyik bermain hide and seek di ruang tunggu kalau kami agak terlambat menjemputnya - itulah Caca. Tidak terlalu perduli siapa the best friend karena bisa bermain dengan siapa saja. Terkesan santai, dan hampir tidak terlihat punya ambisi untuk mencapai sesuatu. Tapi bukan berarti dia tidak berprestasi lho!..., prestasi akademisnya sangat menonjol, sejak preparation class, Caca selalu mengikuti semua aktivitas class di atasnya. Tahun lalu, selain mendapat penghargaan General Excellence Award, Caca juga mendapat gold medallion di bidang olah raga. Kalau di dalam kelas, Caca sangat tahu apa yang harus dikerjakan dan yang tidak perlu dilakukan. Hal ini yang sangat mengejutkanku. Di usianya yang waktu itu belum juga genap 6 tahun, dia sudah bisa menganalisa lingkungan kelasnya dengan baik. Dia sangat mengerti keinginan gurunya atau teman-temannya. Kalau gurunya sedang ingin menjelaskan sesuatu tanpa ingin diinterupsi, Caca akan menunggu dengan sabar untuk memberikan komentar dengan mengangkat tangan terlebih dahulu. Dia tahu membantu temannya ketika mendapat tugas di friendship stop, tanpa ingin menonjolkan kelebihannya dalam mencatat nama atau alat permainan (padahal dia tahu persis, temannya yang bertugas bersamanya tidak terlalu bisa mengeja atau menulis). Mungkin inilah kelebihan Caca-ku, dia ingin semuanya berjalan dengan damai, tidak perlu bersitegang atau rebutan untuk mendapatkan tugas atau kedudukan. Setiap pulang sekolah, aku selalu melihat Caca asyik mengobrol atau kejar-kejaran di oval bersama teman-temannya. Tetapi kalau sudah di rumah Caca tahu bahwa dia boleh bebas melakukan kemauannya termasuk… sangat sulit dibangunkan dipagi hari, sulit disuruh mandi, dan makan luaaaama … sekali. Bagi orang lain waktu terus berjalan cepat, bagi Caca waktu seperti merangkak. Tapi lucunya ini hanya terjadi di rumah. Di sekolah semua tugas dikerjakannya dengan baik dan tepat waktu. Mungkin seperti anjing yang menjadi symbol harmonizer, dia hidup riang dan selalu bergembira bila dikelilingi teman-temannya. Dia tidak terlalu mementingkan diri sendiri, yang penting dia bisa hidup nyaman dan damai. Caca….Caca…. kamu sungguh tahu menyenangkan hati setiap orang. Tetapi kamu juga tahu bahwa rumah adalah tempat paling bebas di dunia karena semua orang menerimamu apa adanya - baik kelebihan atau kekuranganmu. Home sweet home itulah juga kalimat yang sering dilontarkan Caca kalau kami sampai di rumah sepulang dari jalan-jalan.
Judulnya cukup menarik, karena belakangan ini aku dan Mas Agus cukup dibuat bingung dengan tingkah polah dua malaikat kecilku karena kadang-kadang mereka bisa berubah menjadi little devils. Akupun membawa pulang buku ini dan berharap bisa membacanya sebagai buku pengantar tidur atau teman menikmati muffin. Sebagai seorang ibu dari dua gadis kecil yang memiliki karakter yang sangat berbeda, seringkali aku berpikir, pola asuh seperti apa yang tepat buat anak-anakku? Setelah membaca bab pertama, aku segera ingin menyelesaikannya karena buku ini ternyata memberikan banyak masukan dan cukup memberikan jawaban bagiku yang terkadang merasa berjalan dalam gelap dan sedikit frustrasi melihat tingkah dua gadis kecilku yang sangat melelahkan.
Lana Nakone melalui riset terakhirnya membagi karakter anak menjadi 4 macam yaitu penguin (maintainers style), anjing (harmonizers style), kuda (innovators style), dan singa (prioritizers style). Tulisannya yang terstruktur dan bahasanya yang mudah dipahami serta dibantu dengan cerita, ilustrasi, dan langkah demi langkah dalam pendekatan terhadap setiap karakter anak membantuku lebih memahami keunikan mereka. Akupun kini harus memiliki pendekatan yang berbeda sehingga mereka lebih nyaman dan gembira dalam menjalani hari-harinya. Aku tahu itu tidak semudah teori di dalam buku ini. Aku juga tahu buku ini hanya alat bantu, tapi aku juga tahu…..
Chika-ku mungkin seorang “Penguin”.
Hari Sabtu siang. Seperti biasa, kami menjemput Chika & Caca dari kursus balletnya. Karena cuaca cukup cerah, Mas Agus membelokkan mobil ke arah luar kota - Inverleigh. Kami sekedar ingin mencari tempat piknik untuk menikmati makan siang. Tetapi sungguh sangat menjengkelkan, ketika Chika (waktu itu berumur 7 tahun) dengan bossy memberikan pernyataan bahwa dia tidak ingin jalan-jalan, disusul dengan suara sesenggukan tangis yang ingin memperjelas nada protesnya. Saat itu yang ada di pikiran kami adalah Chika terlalu bossy dan kami ingin dia mau mengerti kepentingan orang lain. Selama perjalanan dan makan siang dia terus menunjukkan wajah masam dan mata sembab. Akhirnya kamipun pulang dengan perasaan yang sangat tidak nyaman. Seorang penguin sangat menikmati rutinitas, sesuatu yang teratur dan terprogram dengan jelas. Sehingga dia tidak terlalu menyukai kejutan. Aku baru menyadarinya setelah membaca buku ini. Chika sebenarnya tidak bossy tetapi dia ingin semuanya terencana. Perjalanan mencari tempat piknik, yang kami pikir akan menyenangkannya ternyata bagi dia adalah sesuatu yang di luar program. Pada hari itu, dia ingin menyelesaikan bacaannya sepulang dari kursus ballet, sehingga hari berikutnya dia bisa ke perpustakaan untuk meminjam buku yang baru. Aku baru ingat bahwa Chika selalu membuat daftar apa saja yang harus dibawa dan diperlukan kalau kami akan pergi ke suatu tempat. Dia akan menikmati tugasnya mengingatkanku apa saja yang masih belum terbawa di keranjang piknik atau di tas ransel kami. Betapa senangnya dia kalau diajak membuka peta oleh ayahnya kalau akan merencanakan suatu perjalanan disaat liburan. Dan dia dengan senang hati mencatat di buku kecilnya jam keberangkatan serta jarak tempuh setiap kami mengadakan perjalanan ke suatu tempat yang baru. Di sekolah, Chika juga selalu dijadikan role model bagi teman-temannya karena ketepatannya dalam mengerjakan semua tugas yang diberikan kepadanya. Dan sekarang di usianya yang belum genap 9 tahun, dia mempunyai jadwal untuk membantuku mencuci piring di hari yang telah terjadwal yaitu hari Minggu, Senin, dan Rabu. Sungguh bersyukur kami memiliki seorang penguin di rumah kami. Dan betapa bersyukurnya dunia memiliki maintainers seperti engkau, Chika. Karena kalau tidak betapa kacaunya dunia ini.
Caca, engkaukah Si “Harmonizer?”
Selalu cekakak-cekikik dengan teman-temannya di ruang ganti ballet. Atau asyik bermain hide and seek di ruang tunggu kalau kami agak terlambat menjemputnya - itulah Caca. Tidak terlalu perduli siapa the best friend karena bisa bermain dengan siapa saja. Terkesan santai, dan hampir tidak terlihat punya ambisi untuk mencapai sesuatu. Tapi bukan berarti dia tidak berprestasi lho!..., prestasi akademisnya sangat menonjol, sejak preparation class, Caca selalu mengikuti semua aktivitas class di atasnya. Tahun lalu, selain mendapat penghargaan General Excellence Award, Caca juga mendapat gold medallion di bidang olah raga. Kalau di dalam kelas, Caca sangat tahu apa yang harus dikerjakan dan yang tidak perlu dilakukan. Hal ini yang sangat mengejutkanku. Di usianya yang waktu itu belum juga genap 6 tahun, dia sudah bisa menganalisa lingkungan kelasnya dengan baik. Dia sangat mengerti keinginan gurunya atau teman-temannya. Kalau gurunya sedang ingin menjelaskan sesuatu tanpa ingin diinterupsi, Caca akan menunggu dengan sabar untuk memberikan komentar dengan mengangkat tangan terlebih dahulu. Dia tahu membantu temannya ketika mendapat tugas di friendship stop, tanpa ingin menonjolkan kelebihannya dalam mencatat nama atau alat permainan (padahal dia tahu persis, temannya yang bertugas bersamanya tidak terlalu bisa mengeja atau menulis). Mungkin inilah kelebihan Caca-ku, dia ingin semuanya berjalan dengan damai, tidak perlu bersitegang atau rebutan untuk mendapatkan tugas atau kedudukan. Setiap pulang sekolah, aku selalu melihat Caca asyik mengobrol atau kejar-kejaran di oval bersama teman-temannya. Tetapi kalau sudah di rumah Caca tahu bahwa dia boleh bebas melakukan kemauannya termasuk… sangat sulit dibangunkan dipagi hari, sulit disuruh mandi, dan makan luaaaama … sekali. Bagi orang lain waktu terus berjalan cepat, bagi Caca waktu seperti merangkak. Tapi lucunya ini hanya terjadi di rumah. Di sekolah semua tugas dikerjakannya dengan baik dan tepat waktu. Mungkin seperti anjing yang menjadi symbol harmonizer, dia hidup riang dan selalu bergembira bila dikelilingi teman-temannya. Dia tidak terlalu mementingkan diri sendiri, yang penting dia bisa hidup nyaman dan damai. Caca….Caca…. kamu sungguh tahu menyenangkan hati setiap orang. Tetapi kamu juga tahu bahwa rumah adalah tempat paling bebas di dunia karena semua orang menerimamu apa adanya - baik kelebihan atau kekuranganmu. Home sweet home itulah juga kalimat yang sering dilontarkan Caca kalau kami sampai di rumah sepulang dari jalan-jalan.
Saturday, April 11, 2009
The Adventure to Erskine Falls

We travelled 20 km to get to Torquay; there we saw the sea – the Southern Ocean. It looked so beautiful. Then we drove along the famous Great Ocean Road. It only took 15 minutes to get to Anglesea. Next up was Aireys Inlet. This time it only took 10 minutes! In Aireys Inlet I looked at the trees and saw that they were burnt at the bottom but the top was normal. I’ve never seen trees like that before so I thought it was because of the bushfires but I wasn’t sure.
After an 18 km long we saw Lorne. The waves were really good to do body surfing I thought. When we got to Lorne we parked the car and walked into the information centre. We got two maps, one so we could go to the waterfall and the other one showed us the whole town of Lorne. We followed the first map, which led us to Erskine Falls. The waterfall was 30m high but unfortunately there wasn’t much water because of the drought. When I smelt the forest I just couldn’t leave because it smelt like moist and damp trees. Caca my little sister jumped on the rocks and I followed her. The rocks along the creek were slippery and had fungi, algae and mushrooms. We followed a path that led us deeper into the forest. There I saw a log that ran across like a bridge. I balanced on it and it was very slippery. I only got to reach the middle because the rest of the log was rotting. Soon I found a little cave and it had drawings on it.
When I got back and saw the waterfall I leaped from rock to rock until I got tired of doing it. Then I got back to mum, but I saw that Caca and dad were walking very close to the waterfall. When they got back I remembered that we had to climb about 300 stairs! Caca ran up like a Cheetah and I thought that she’d be exhausted when she reached the car. Well she was but not like I was. Did you know that she won a gold medal in the junior Olympics for her age group last year?
Well I was relieved that we were going to have lunch because I was starving. We had Macaroni Cheese for lunch and enjoyed it while looking at the surfers at Louttit Bay. When we finished eating everyone walked to the fair and brought some Fairy Floss, it was yummy! Then we looked around. Caca and dad went back to the beach while mum and I bought 2 corn–on–the–cob. When mum and I got back, Caca was making a sandcastle and dad was reading a book. When I finished my corn–on–the–cob, I helped Caca make a new sandcastle and we found lots of interesting things. When I found a huge pile of seaweed I grabbed it and called for Caca to help me. We tugged at it and then suddenly we fell backwards and got ourselves dirty. Then I got some water from the sea and cleaned my clothes. After a little while mum and dad called us back. First we had to clean our feet so it wasn’t sandy, then we got changed.
Next we had to go home. When we were going back home we took another route – the inland route . This is the story of how we got home. First we departed from Lorne toward Deans Marsh. While dad were driving along the winding road of Otway National Park, Caca and I ate an Easter egg each. Then we found the leftover Fairy Floss and ate the rest. After that we sang some nursery rhymes and sang a silly song! For about 44 minutes we did that and then we reached Winchelsea. There we ate fish & chips. All of us thought that the chips were horrible! In the car, Caca and I did a silly game and we were laughing about it when arrived at home. Home Sweet Home! The whole adventure took us 7 hours and 51 minutes and it took 173 km to Lorne and back. (By Chika Sunarto)
Sunday, March 8, 2009
Gold rush



Sambil menikmati es krim rasa abad ke-19, kami melihat proses peleburan emas di Gold Smelting Works. Emas dilebur di dalam tunggu panas suhu 1000 derajad Celcius dan dicetak menjadi batangan emas. Karena batangan emas ini berharga $140,000 hanya satu orang saja yang diperbolehkan memegangnya. Bagi yang ingin membeli perhiasan emas, disediakan di ruang sebelah dengan harga diskon. Ibu-ibu dan gadis-gadis langsung berbinar. Dari jauh kulihat Novy dan dua gadis kecilku juga tampak asyik di depan etalase. Ketika mereka menghampiriku dengan gusto, aku langsung ngeloyor pergi... perutku langsung mules, huek huekkkk.... Walaupun tidak berhasil menemukan Welcome Nugget jilid 2, Chika dan Caca tampak sangat gembira dengan beberapa batu quart dari hasil kerja kerasnya di pendulangan. Ketika mereka bertanya apakah kami menemukan emas, Novy bilang dia menemukan emas yang beratnya hampir sama dengan Welcome Nugget, namanya Mas Agus. Halah...!


Begonia Festival






Cabang Dayung Olimpiade Melbourne 1956, photo didownload dari www.rowinghistory-aus.info
Sunday, February 22, 2009
Jalan-Jalan Pagi
Waktu di Bogor dulu, jalan pagi di hari Minggu menjadi kebiasaan keluarga kami untuk mencari sarapan. Biasanya kami ke Taman Kencana karena banyak pilihan. Chika dan Caca bisa main gelembung sabun, naik kuda atau sekedar berlarian di taman. Kami bisa sarapan menu Jawa Timur (rawon), Jawa Tengah (sego pecel), Jawa Barat (batagor, siomay, lontong sayur) atau kebarat-baratan (poffertjes). Juga bisa nostalgia melahap mie ayam FKH yang nyempil di pagar bekas kampus kami. Kalau mau menikmati panasnya bubur lemukut, kami tinggal menyeberang Jl Salak ke RM Makaroni Panggang. Kadang-kadang kami jalan pagi ke Lapangan Sempur. Setelah basa-basi berlari beberapa putaran biasanya kami nongkrong di tenda Mas Ando untuk melahap dimsum yang lekoh dan ceker eyem yang empuk abis. Kalau sedang pengin sarapan bubur, kami menyisir Jl Pajajaran untuk menikmati bubur ayam Tirsa lengkap dengan pangsit goreng, sate usus, jantung-hati, dan rempelo goreng. Kalau malas jalan jauh, kami merangkak ke Indraprasta II untuk dapat semangkuk bubur manado.
Mumpung musim panas dan cuaca cerah di Geelong, hari Minggu ini kami jalan pagi. Keluar dari rumah, kami berjalan sepanjang Boundary Rd ke arah AAHL, trus belok kiri di Ryrie St. Begitu masuk ke Eastern Park, Caca langsung lari dan baru berhenti di tengah lapangan bola tempat saya biasa bermain sepak bola dengan teman-teman di Lab. Kami sempat mampir ke East Geelong Golf Club sekedar untuk tahu fee dan melihat fasilitasnya, karena Mas Tono pengin main golf disini. Caca semangat banget mau jadi guide buat Pak Dhe-nya dari Solo yang hobby main golf. Caca pikir padang golf ini sama dengan mini golf tempat dia biasa main, ha… ha. Eniwei, Chika dan Caca sempat ‘lomba lari’ di sepanjang jogging trek di Eastern Park, sebelum Chika berhenti karena ankle-nya sakit. Pelan-pelan kami terus berjalan di sepanjang pantai kearah Eastern Beach. Begitu sampai di play ground, Chika langsung berlompatan dari monkey bar ke flying fox, dari plorotan ke ayunan. Baru aku tahu ternyata play ground merupakan obat mujarab untuk anak-anak, apapun sakitnya.
Setelah anak-anak puas bermain di play ground, kami pulang. Kali ini kami pilih rute berbeda - berjalan di sepanjang Garden St. Ketika menunggu lampu merah di perempatan Ryrie St., kami bertemu M. Stokes – pemain footy di klub favorit kami Geelong Cats. Chika heboh banget ketemu Stokes. Masih primary school aja heboh begitu, apalagi nanti kalo udah high school... Mati aku! Eniwei, alasan kami pilih rute Garden St adalah Brumby’s Bakery – toko roti di perempatan Garden St & Myers St. Caca pilih Toffee Scroll, Chika ambil Apple Scroll, Novy dan saya kebagian Classic Garlic bread. Tidak ada bubur ayam & lontong sayur, scroll & garlic bread-pun jadilah, uhuk...uhuk. Baik di Bogor maupun di Geelong, jalan pagi ternyata menjadi cara sehat untuk cari sarapan.
Mumpung musim panas dan cuaca cerah di Geelong, hari Minggu ini kami jalan pagi. Keluar dari rumah, kami berjalan sepanjang Boundary Rd ke arah AAHL, trus belok kiri di Ryrie St. Begitu masuk ke Eastern Park, Caca langsung lari dan baru berhenti di tengah lapangan bola tempat saya biasa bermain sepak bola dengan teman-teman di Lab. Kami sempat mampir ke East Geelong Golf Club sekedar untuk tahu fee dan melihat fasilitasnya, karena Mas Tono pengin main golf disini. Caca semangat banget mau jadi guide buat Pak Dhe-nya dari Solo yang hobby main golf. Caca pikir padang golf ini sama dengan mini golf tempat dia biasa main, ha… ha. Eniwei, Chika dan Caca sempat ‘lomba lari’ di sepanjang jogging trek di Eastern Park, sebelum Chika berhenti karena ankle-nya sakit. Pelan-pelan kami terus berjalan di sepanjang pantai kearah Eastern Beach. Begitu sampai di play ground, Chika langsung berlompatan dari monkey bar ke flying fox, dari plorotan ke ayunan. Baru aku tahu ternyata play ground merupakan obat mujarab untuk anak-anak, apapun sakitnya.
Setelah anak-anak puas bermain di play ground, kami pulang. Kali ini kami pilih rute berbeda - berjalan di sepanjang Garden St. Ketika menunggu lampu merah di perempatan Ryrie St., kami bertemu M. Stokes – pemain footy di klub favorit kami Geelong Cats. Chika heboh banget ketemu Stokes. Masih primary school aja heboh begitu, apalagi nanti kalo udah high school... Mati aku! Eniwei, alasan kami pilih rute Garden St adalah Brumby’s Bakery – toko roti di perempatan Garden St & Myers St. Caca pilih Toffee Scroll, Chika ambil Apple Scroll, Novy dan saya kebagian Classic Garlic bread. Tidak ada bubur ayam & lontong sayur, scroll & garlic bread-pun jadilah, uhuk...uhuk. Baik di Bogor maupun di Geelong, jalan pagi ternyata menjadi cara sehat untuk cari sarapan.
Saturday, February 14, 2009
Bushfire
Innaa lillahi wa innaa illaihi raaji’uun. Sesungguhnya kami adalah milik Alloh dan kami akan kembali kepada-Nya.
Marysville dilahap si jago merah. Seluruh kota menjadi arang, semuanya terlihat hitam. Black Saturday atau sabtu kelam. Itulah kira-kira yang digambarkan oleh berita di televisi dan surat kabar di seluruh Victoria dan Australia. Sabtu 7 February, suhu udara di wilayah Victoria luar biasa panasnya 45-47 derajat Celcius disertai angina kencang dari arah utara telah memicu terjadinya kebakaran terbesar dalam sejarah Australia. Kota- kota yang cantik menjadi hitam kelabu.
Sedih, sedih, dan sedih…. Tidak percaya melihat gambar Marysville yang benar-benar menghitam, hanya tinggal 12 rumah yang masih berdiri. Marysville sebuah kota kecil yang sangat cantik, terletak di sebelah timur laut Melbourne, tiga jam perjalanan dari Geelong. Seperti seorang gadis kecil yang sangat cantik, polos, tanpa polesan..., itulah kesan pertama ketika kami berkunjung kesana pada musim dingin dua tahun lalu. Kesan indah yang membuat saya ingin kembali ke kota ini. Kecantikannya yang sangat alami membuat setiap orang ingin sekali mengenalnya lebih dalam. Tetapi kini… Marysville seakan terhapus dari peta.
Air mata begitu deras mengalir di antara puing-puing rumah yang menghitam. 45 nyawa telah menjadi korban keganasan si jago merah di Marysville. Marysville hanyalah salah satu kota yang menjadi korban ganasnya si jago merah di Victoria tahun ini. Kota-kota indah lainnya, seperti Kinglake, Strathewen, Humevale, St. Andrews, Steels Creek, Flowerdale & Narbethong juga mengalami nasib serupa dengan Marysville. Tercatat tidak kurang dari 219 nyawa melayang, dan dikabarkan masih ada sekitar 30 orang dinyatakan hilang (termasuk 2 warga Indonesia yang sedang berlibur di kawasan tersebut). Belum lagi ribuan satwa dan hewan peliharaanpun menjadi korban amukan api yang sangat sulit dikendalikan ini.
Bantuan kemanusiaan pun mengalir dari dalam maupun luar negeri. Pemerintah Australia dan seluruh lapisan masyarakat dengan penuh empati berusaha sekuat tenaga meringankan beban fisik dan psikis para korban. Tidak ketinggalan juga Chika dan Caca, mereka ikut mendonasikan gold coin yang diambil dari money box nya sendiri. Hanya 1-2 dollar, tetapi mereka belajar untuk berbagi dan merasakan kesedihan teman-temannya yang kehilangan mainan, buku-buku, bangku belajar, bahkan gedung sekolahnya.

Photo kota Marysville sebelum bushfire, didownload dari www.triplem.com.au

Salah satu pojok Marysville sebelum bushfire, photo didownload dari www.redbubble.com
Marysville Primary School setelah bushfire, photo didownload dari www.abc.com.au
Marysville dilahap si jago merah. Seluruh kota menjadi arang, semuanya terlihat hitam. Black Saturday atau sabtu kelam. Itulah kira-kira yang digambarkan oleh berita di televisi dan surat kabar di seluruh Victoria dan Australia. Sabtu 7 February, suhu udara di wilayah Victoria luar biasa panasnya 45-47 derajat Celcius disertai angina kencang dari arah utara telah memicu terjadinya kebakaran terbesar dalam sejarah Australia. Kota- kota yang cantik menjadi hitam kelabu.
Sedih, sedih, dan sedih…. Tidak percaya melihat gambar Marysville yang benar-benar menghitam, hanya tinggal 12 rumah yang masih berdiri. Marysville sebuah kota kecil yang sangat cantik, terletak di sebelah timur laut Melbourne, tiga jam perjalanan dari Geelong. Seperti seorang gadis kecil yang sangat cantik, polos, tanpa polesan..., itulah kesan pertama ketika kami berkunjung kesana pada musim dingin dua tahun lalu. Kesan indah yang membuat saya ingin kembali ke kota ini. Kecantikannya yang sangat alami membuat setiap orang ingin sekali mengenalnya lebih dalam. Tetapi kini… Marysville seakan terhapus dari peta.
Air mata begitu deras mengalir di antara puing-puing rumah yang menghitam. 45 nyawa telah menjadi korban keganasan si jago merah di Marysville. Marysville hanyalah salah satu kota yang menjadi korban ganasnya si jago merah di Victoria tahun ini. Kota-kota indah lainnya, seperti Kinglake, Strathewen, Humevale, St. Andrews, Steels Creek, Flowerdale & Narbethong juga mengalami nasib serupa dengan Marysville. Tercatat tidak kurang dari 219 nyawa melayang, dan dikabarkan masih ada sekitar 30 orang dinyatakan hilang (termasuk 2 warga Indonesia yang sedang berlibur di kawasan tersebut). Belum lagi ribuan satwa dan hewan peliharaanpun menjadi korban amukan api yang sangat sulit dikendalikan ini.
Bantuan kemanusiaan pun mengalir dari dalam maupun luar negeri. Pemerintah Australia dan seluruh lapisan masyarakat dengan penuh empati berusaha sekuat tenaga meringankan beban fisik dan psikis para korban. Tidak ketinggalan juga Chika dan Caca, mereka ikut mendonasikan gold coin yang diambil dari money box nya sendiri. Hanya 1-2 dollar, tetapi mereka belajar untuk berbagi dan merasakan kesedihan teman-temannya yang kehilangan mainan, buku-buku, bangku belajar, bahkan gedung sekolahnya.

Photo kota Marysville sebelum bushfire, didownload dari www.triplem.com.au

Salah satu pojok Marysville sebelum bushfire, photo didownload dari www.redbubble.com

Marysville Primary School setelah bushfire, photo didownload dari www.abc.com.au
Saturday, January 31, 2009
45C







Sunday, January 11, 2009
A Splendid Sunday






Subscribe to:
Posts (Atom)