Sunday, January 26, 2014

Summer Camp 2013-14

Cruising at 110 km/hour along Hume Freeway from Melbourne to Yass was a good fun, but coastal driving from Sydney to Phillip Island through national parks was liberating.

This summer we drove up east to Canberra and Sydney via inland and took the coastal route to Phillip Islands on the way back to Geelong. Driving through bushes and beaches, dipping in small creeks and swimming in the blue ocean, tasting local fudge in Mogo, cheese in Bega and local fish n chips along the way. Setting up a tent and watching kangaroo grazing from our shelter in the day, barbecue and setting camp fire in the evening and dancing with stars at night. 

Day 1 Geelong to Wee Jasper
Day 3 Wee Jasper to Canberra
Day 5 Canberra to Sydney
Day 7 Sydney to Mimosa Rocks National Park
Day 9 Mimosa Rocks to South Gippsland
Day 10 South Gippsland to Geelong via Phillip Islands











Mogo, kampung seni yang tersembunyi di NSW
By Novy Sunarto

Setelah melewati Batemans Bay, kami memasuki sebuah kota kecil bernama Mogo. "Mas pelan-pelan nyetirnya, ada toko cantik tuh, kayaknya jualan kerajinan tangan deh". "Eh sebelah sana ada toko buku dan scrap book, toko seberangnya jual baju rajutan". "Daddy, there is a fudge and ice cream shop" teriak Caca. Wuih rame banget ya komentar-komentar yang muncul. Mobilpun diarahkan ke tempat bertanda parkir di ujung jalan. Terus terang saya lebih ke arah penasaran, tempat apa sih ini jauh dari mana mana kok ada deretan toko kuno yang cantik, berkesan artistik banget dan ramai pengunjung. Istilah bahasa Jawanya "regeng". Chika & Caca langsung menuju toko fudge and ice cream, mereka penasaran dengan rasa homemade fudge yang tersaji di etalase. Chika memilih mint-chocolate swirl, Caca menjatuhkan pilihan pada caramel-chocolate swirl. Yummmm!

Sementara saya sibuk memanjakan mata, Mas Agus berkesempatan ngobrol dengan pemilik salah satu toko sembari merasakan the husband seat. Kreatif banget ya yang membuat tulisan di bangku itu. Aha... bangku ini memang disediakan untuk para suami yang kecapean kalau sang istri sibuk belanja atau sekedar memanjakan mata di toko-toko ini. Menurut cerita Dirk, sang pemilik toko. Konon, kota kecil ini berkembang pada masa perburuan emas di era 1850-an. Penggalian emas di Cabbage Tree Creek pada tahun 1857 membuat Mogo dibanjiri para penambang emas yang mencari keberuntungan mendapatkan nugget (bongkahan emas) di sini. Karena banyaknya pendatang, sarana akomodasipun bermunculan. Pada puncaknya, Mogo memiliki beberapa pub & bar tempat para pekerja makan & minum, gereja, toko dan juga sekolah. Tetapi era keemasan ini tidak bertahan lama. Setelah emas habis, Mogo pun ditinggalkan  dan kembali tertidur ... sepi.

Melihat potensi yang pernah ada di Mogo, seorang seniman ingin kembali membangunkan Mogo yang lama tertidur. Beliau mendirikan sebuah galeri seni serta mengundang teman-teman kreatifnya untuk menyumbangkan ide segar menjadikan Mogo menjadi kampung seni. Maka sekitar tahun 1990-an Mogopun menjadi tujuan wisatawan dan para pencari barang-barang seni dan kerajinan, baik jadul maupun kontemporer. Mungkin seperti desa ubud di Bali yang menjadi pusat seni dan kerajinan. Hingga kini Mogo tetap ramai, menjadi persinggahan orang-orang penikmat seni. Hem ... saya ingin kembali ke sini suatu saat nanti.

No comments: